A. Latar Kultural Dan Politik Kelahiran Aswaja
Selama ini yang kita ketahui tentang ahlusunnah waljama’ah adalah madzhab yang dalam masalah aqidah mengikuti imam Abu Musa Al Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi. Dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu madzhab empat, dan dalam bertawasuf mengikuti imam Abu Qosim Al Junandi dan imam Abu khamid Al Gozali.
Kalau kita mempelajari Ahlussunnah dengan sebenarnya, batasan seperti itu nampak begitu simple dan sederhana, karena pengertian tersebut menciptakan definisi yang sangat eksklusif Untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dahulu harus kita tekankan bahwa Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab, Aswaja hanyalah sebuah manhaj Al fikr (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para sahabat dan muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapi situasi politik ketika itu. Meski demikian, bukan berarti dalam kedudukannya sebagai Manhaj Al fikr sekalipun merupakan produk yang bersih dari realitas sosio-kultural maupun sosio politik yang melingkupinya.[1]
Ahlusunnah tidak bisa terlepas dari kultur bangsa arab “tempat islam tumbuh dan berkembang untuk pertama kali”. Seperti kita ketahui bersama, bangsa arab adalah bangsa yang terdiri dari beraneka ragam suku dan kabilah yang biasa hidup secara peduli. Dari watak alami dan karakteristik daerahnya yang sebagai besar padang pasir watak orang arab sulit bersatu dan bahkan ada titik kesatuan diantara mereka merupakan sesuatu yang hampir mustahil.
Di tengah-tengah kondisi bangsa yang demikian rapuh yang sangat labil persatuan dan kebersamaannya, Rosulullah diutus membawa Islam dengan misi yang sangat menekankan ukhuwah, persamaan dan persaudaraan manusia atas dasar idiologi atau iman. Selama 23 tahun dengan segala kehebatan, kharisma, dan kebesaran yang dimilikinya, Rosulullah mampu meredam kefanatikan qobilah menjadi kefanatikan agama (ghiroh islamiyah). Jelasnya Rosulullah mampu membangun persatuan, persaudaraan, ukhuwah dan kesejajaran martabat dan fitrah manusia. Namun dasar watak alami bangsa arab yang sulit bersatu, setelah Rosulullah meninggal dan bahkan jasad beliau belum dikebumikan benih-benih perpecahan, gendrang perselisihan sudah mulai terdengar, terutama dalam menyikapi siapa figure yang tepat mengganti Rosulullah (peristiwa bani saqifah ).[2]
Perselisihan internal dikalangan umat Islam ini, secara sistematis dan periodik terus berlanjut pasca meninggalnya Rosulullah, yang akhirnya komoditi perpecahan menjadi sangat beragam. Ada karena masalah politik dikemas rapi seakan-akan masalah agama, dan aja juga masalah-masalah agama dijadikan legitimasi untuk mencapai ambisi politik dan kekuasaan.[3]
Unsur-unsur perpecahan dikalangan internal umat Islam merupakan potensi yang sewaktu-waktu bisa meledak sebagai bom waktu, bukti ini semakin nampak dengan diangkatnya Usman Bin Affan sebagai kholifah pengganti Umar bin Khottob oleh tim formatur yang dibentuk oleh Umar menjelang meninggalnya beliau, yang mau tidak mau menyisahkan kekecewaan politik bagi pendukung Ali waktu itu. Fakta kelabu ini ternyata menjadi tragedy besar dalam sejarah umat Islam yaitu dengan dibunuhnya Kholifah Usman oleh putra Abu Bakar yang bernama Muhammad bin Abu Bakar.
Peristiwa ini yang menjadi latar belakang terjadinya perang Jamal antara Siti Aisyah dan Sayidina Ali. Dan berikut keadaan semakin kacau balau dan situasi politik semakin tidak menentu, sehingga dikalangan internal umat Islam mulai terpecah menjadi firqoh-firqoh seperti Qodariyah, Jabbariyah Mu’tazilah dan kemudian lahirlah Ahlus sunah. Melihat rentetan latar belakang sejarah yang mengiringi lahirnya Aswaja, dapat ditarik garis kesimpulan bahwa lahirnya Aswaja tidak bisa terlepas dari latar belakang politik.[4]
B. ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Melihat dari latar cultural dan politik sejarah kelahiran Aswaja, beserta ruang lingkup yang ada di dalamnya. Terminologi Aswaja yang sebagai mana kita pegangi selama ini, sehingga tidak jarang memunculkan paradigma jumud (mandeg), kaku, dan eksklusif atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab dan idiologi yang Qod’i.
Salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi, oleh karena itu Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak elitis, apa lagi ekstrim. Sebaliknya Aswaja bisa berkembang dan sekaligus dimungkinkan bisa mendobrak kemapanan yang sudah kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus tetap mengacu pada paradigma dan prinsip al-sholih wa al-ahslah. Karena itu menurut saya implementasi dari qaidah al-muhafadhoh ala qodim al-sholih wa al-akhdzu bi al jadid alashlah. Adalah menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa yang akan datang. Yakni pemekaran relevansi implementatif pemikiran dan gerakan kongkrit ke dalam semua sector dan bidang kehidupan baik, aqidah, syariah, akhlaq, social budaya, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya.[5]
Walhasil, Aswaja itu sebenarnya bukanlah madzhab. Tetapi hanyalah manhaj al-fikr atau paham saja, yang di dalamnya masih memuat beberapa aliran dan madzhab. Ini berarti masih terbuka luas bagi kita wacana pemikiran Islam yang transformatif, kreatif, dan inovatif, sehingga dapat mengakomodir nuansa perkembangan kemajuan budaya manusia. Atau selalu up to date dan tanggap terhadap tantangan jaman. Nah dengan demikian akan terjadi kebekuan dan kefakuman besar-besaran diantara kita kalau doktrin-doktrin eksklusif yang ada dalam Aswaja seperti yang selama ini kita dengar dan kita pahami dicerna mentah-mentah sesuai dengan kemasan praktis pemikiran aswaja, tanpa mau membongkar sisi metodologi berfikirnya, yakni kerangka berpikir yang menganggap prinsip tawassuth (moderat), tawazun (keseimbangan), ta’adul ( keadilan) dapat mengantarkan pada sikap yang mau dan mampu menghargai keberagaman yang non ekstrimitas (tatharruf) kiri ataupun kanan.
C. Karakter Tawassuth, Tawazun, I'tidal, dan Tasamuh dalam Aswaja
1. At-Tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah: 143
Artinya, “Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian”.
2. At-Tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT dalam surah al-Hadid: 25
Artinya “Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”.
3. Al-I'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman dalam surah. al-Maidah: 8
Artinya “Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT dalam surah Thaha: 44
Artinya “Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut.”
Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah[6]".
Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut [7]
1. Akidah
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli.
b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.
2. Syari'ah aBerpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.bAkal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as (sharih/qotht'i).cDapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).
3. Tashawwuf/Akhlaka
a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).
4. Pergaulan antar golongan
a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata emusuhi agama Islam.
5. Kehidupan bernegara
a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selamatidak bertentangan dengan ajaran agama.
c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.
6. Kebudayaan
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.
b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).
7. Dakwah
a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.
D. ASWAJA SEBAGAI PARADIGMA
Doktrin Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja) saat ini berhadapan dengan perubahan masyarakat yang sangat cepat. Rumusan doktrin yang selama ini menjadi acuan bagi mayoritas umat Islam dalam beragama, terutama kaum Nahdliyin tidak mampu lagi mengakomodir perubahan yang terjadi.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi di era yang global ini tidak mampu lagi di baca dalam kerangka rumusan doktrin lama, keenderungan pemahaman agama secara tradisional agaknya sudah kurang mampu berbicara. Pemahaman secara tekstual tidak lagi memuaskan. Maka yang diperlukan adalah pemahaman yang bersifat kontekstual.
Reinterprestasi dokrtin Aswaja sudah seharusnya dilakukan. Salah satu pemahaman ulang tersebut adalah dengan merujuk kembali sejarah awal reformasi atau pembentukan doktrin ini. Dengan merujuk ke sejarah awal, yang telah kita bahas diatas akan terlihat situasi kreatif masyarakat dimana perbincangan secara cerdas. Tampak sekali bahwa doktrin Aswaja sebenarnya berwatak plural, tidak tunggal. Bahkan sejarah lahirnya paham akidah Aswaja sebenarnya dilahirkan oleh tiga tokoh kenamaan yaitu, Imam al-Asy’ari di Barsah, Imam al-Maturidi di Samarkand dan) Imam al-Tahawi di Mesir.
Proses terbentuknya paham Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah membutuhkan jangka waktu yang panjang. Pengertian Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah sebagai sebuah aliran pemikiran (school of thought) tidak serta merta dan terbentuk menjadi baku. Sejarah menunjukan bahwa pemikiran keagamaan Sunni dalam bidang teologi, hukum, Tasawuf dan politik tidak terbentuk dalam satu masa melainkan dalam waktu yang berbeda-beda. Masing-masing bidang tersebut di formulasikan oleh para ulama yang hidup pada masa yang berbeda pula. Dengan demikian Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah adalah akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan oleh para ulama untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul pada zaman tertentu.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan yang menyatakan dirinya sebagai penganut paham Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah, memahami Aswaja sebagai akumulasi doktrin keagamaan yang bertumpu pada rumusan al-usus al-thalathah fi al-I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah di bidang hukum(fiqh) )Tasawuf dan tauhid.[8]
Selama ini, yang kita ketahui tentang Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah adalah madzhab yang :
Ø Dalam akidah, mengikuti slah satu dari Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.
Ø Dalam ubudiyah (praktek peribadatan) mengikuti salah satu Imam empat : Abu Hanifah, Malik ibn Anas, Muhammad al-Syafi’I dan Ahmad bin Hambal.
Ø Dan dalam ber-tashawwuf mengikuti salah satu dua Imam: Abu Qasim al-Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad al-Ghozali.
Itulah yang ditulis oleh Hadlratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam Qonun Asasi dan setiap Muktamar NU disampaikan oleh Rais Aam sebagai sambutan pokok.
Kalau kita mempelajari Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah dengan sebenar-benarnya, batasan seprti itu, tampak begitu simple dan sederhana. Sebab, pengertian tersebut merupakan definisi yang sangat ekslusif.
Untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dahulu harus kita tekankan bahwa Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab. Aswaja hanyalah Manhaj a-fiqr (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para Sahabat dan para muridnya, yaitu generasi Tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapisituasi politik ketika itu. Meski demikian, bukan berarti Aswaja dalam kedudukannya sebagai manhaj al-fiqr sekalipun tapi merupakan produk yang bersih dari realitas sosio-kultural maupun sosio-politik yang melingkupinya.
Formulasi baru Aswaja, mengimplikasikan format atau corak yang sama sekali berbeda dengan rumusan definitif Aswaja yang dipahami selama ini dalam konteks “ber-fiqh”, pergeseran pemahaman akan terlihat cukup tajam diantara generasi yang meletakan fiqih sebagai “kebenaran ortodoksi” (ulama yang mempertahankan teks) , dan generasi yang meletakan fiqih sebagai paradigma “interprestasi sosial”, oleh karena itu, apabila dalam satu generasi yang selalu menundukan realitas pada kebenaran fiqih, dan generasi berikutnya akan sangat mungkin menggunakan fiqih sebagai counter discourse dalam belantara drama sosial yang tengah berlangsung.[9]
Pandangan fiqih sebagai “interprestasi sosial” dengan paradigma fiqh-nya terdapat lima ciri yang menonjol, yaitu:
1. Selalu diupayakan interprestasi ulang dalam mengkaji teks teks fiqih untuk mencari konteks-nya yang baru.
2. Makna bermadzhab diubah dari bermadzhab secara ekstual (madzhab qauli) menjadi bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji).
3. Verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang (furu).
4. Fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara.
5. Pengenalan metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah sosial budaya.
Dari kelima ciri paradigma ber-fiqh tersebut merupakan paradigma yang fundamentalis dan strategis, seperti ditegaskan oleh Abdurrahman Wahid (GusDur) bahwa pentingnya madzhab manhaji inilah-jalan masuk untuk melakukan terobosan-terobosan baru dalam setting tranformasi sosial. Ekonomi politik maupun budaya menjadi terbuka lebar. Di satu sisi generasi yang memahami fiqih sebagai “kebenaran ortodoksi” dengan devinisi madzhab qauli sebagaimana disebutkan diatas bahwa sebagaian generasi tersebut masih mempertahankan rumusan tersebut. Rumusa Aswaja yang demikian ini, oleh sebagian tokoh NU seperti K.H Abdurrahman Wahid dan Said Agil Siradj mulai mempertanyakan relevansinya dan vitalitasnya. Sebab dalam dataran empirik, pemahaman Aswaja seperti diatas disamping membatasi, juga membelenggu kreatifitas berpikir. Dalam pandangan K.H Abdurrahman Wahid, formulasi pemahaman Aswaja tersebut perlu dikembangkan dan dijabarkan lebih mendasar melalui dua kerja utama : Pertama, dengan mengadakan pengkajian aspek kesejarahan pertumbuhan Aswaja, sehingga pemahaman terhadapnya tidak tercerabut dari akar historisnya. Kedua, perlunya perumusan dasar-dasar umum kehidupan masyarakat di kalangan Ahlussunah Wal Jama’ah dalam berbagai kehidupan pada kerangka operasionalnya.
E. EKSISTENSI ASWAJA DI TENGAH ERA GLOBALISASI
Sudah menjadi faka sejarah bahwa agama Islam telah mengantarkan lahirnya sebuah peradaban manusia yang dapat diketahui dari kekayaan aneka ragam seni, budaya dan pemikiran dari para pemikir muslim. Wacana intelektual itu terus berjalan untuk merespons atau reaksi terhadap perubahan zaman engan segala psang surutnya. Wacana intelektual Islam yang kadang-kadang muncul secara kreatif ketika menghadapi tantangan yang cukup rumit teapi juga pernah mengalami masa yang agak kering. Para sejarawan telah berusaha mencari latar belakang dan sebab pasang surutnya kreatifitas intelektual itu dengan menfokuskan pada satu sisi sebagai penyebab utama. Tapi, hasil analisis mereka menyatakan, tidak ada satu-satunya sebab yang harus disalahkan sebagai bentuk tanggung jawab atas kemacetan tersebut. Kiranya berbagai faktor yang saling berkaitan.
Dalam masyarakat Islam, Ahlussunah Wal Jama’ah telah diakui sebagai ideologi dari berbagai gerakan dan organisasi. Di Indonesia yang paling terkenal sebagai gerakan yang secara konstitusional ingin membela dan mempertahankan Aswaja adalah Nahdlatul Ulama. Adapun Muhammadiyah secara implisit mengakui idiologi “Áswaja”. Ini dapat diketahui dari salah satu keputusan Majlis Tarjih yang menyatakan bahwa keputusan-keputusan tentang “Iman” merupakan akidah Ahlul Haq Wassunah. Gerakan puritanis. Persatuan Islam (Persis), mengakui lebih berhak menyandang sebutan Ahlussunah Wal Jama’ah dengan alasan tidak bermadzhab. Karena itu, NU menurut mereka tidak bisa disebut sebagai Ahlussunah Wal Jama’ah.
Kalangan Persatuan Tarbiyah (Perti) merumuskan Aswaja tidak jauh berbeda dengan kalangan NU, dengan rumusan yang lebih ketat, karena cenderung untuk “menyesatkan” kalangan pengikut Ibnu Taimiyah dan Wahabi. Sedangkan rumusan Aswaja Miftakhul Anwar, secara ensensial juga tidak berbeda dengan NU, namun gerakan ini dapat mengakomodir penganut Ibnu Taimiyah dan Wahabi masuk dalam Aswaja. Perbincangan dan wacana intelektual diatas, menunjukan bahwa betapa Aswaja diyakini oleh berbagai kelompok, sebagai satu-satunya aliran yang benar dan selamat dalam Islam (al-firqah al-najiyah). Dan Aswaja telah dipahami dengan pengertian yang beraneka ragam oleh berbagai kelompok dan gerakan Islam.[10]
Terlepas dari berbagai kelompok yang mengatasnamakan sebagai pengikut Aswaja diatas, dalam sekala yang lebih besar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era modern sekarang ini telah menanamkan pengaruhnya begitu besar dan luas dalam sisten berpikir dan prilaku yang berkaitan dengan masalah-masalah teologi (keyakinan/aqidah) dan dialektika agama. Membahas eksistensi Aswaja tak lepas dari sosok NU sebagai kelompok yang membela dan memperjuangkan eksistensi Aswaja dalam kondisi apapun sebagai kerangka analisis sosial. Dalam kaitannya dengan proses globalisasi yang secara dominan ditentukan oleh Barat dewasa ini dalah topik yang baru dan sekaligus merupakan tugas yang berat.
Dewasa ini tampaknya belum ada literatur-literatur yang tertulis secara serius yang dapat dibuat sebagai bahan rujukan sebagai titik tolak acuan untuk mengkaji sikap NU dalam menghadapi isu-isu globalisasi. Istilah globalsiasi akhir-akhir ini sering dipakai sebgai suatu ciri untuk menandai gerak laju modernitas yang semakin cepat, radikal dan dahsyat.[11] Duni Barat, yang memegang kendali supermasi di bidang kemajuan sains dan teknologi, merupakan pusat yang secara dominan menyebarkan proses globalisasi itu, Giddens mendefinisikan globalisasi sebagai perkembangan-perkembangan yang cepat di bidang teknologi komunikasi, transportasi dan informasi yang dapat membawa bagian-bagian dunia yang paling jauh terpencil sekalipun ke dalam suatu jangkauan yang mudah.
Dengan demikian, globalisasi telah menyebabkan semakin menyempitnya dunia ini dan semakin dekatnya jarak antara belahan dunia yang satu dengan belahan dunia yang lain. Dipercanggih dengan kemajuan-kemajuan spektakuler di bidang teknologi informasi komunikasi, transportasi dan komunikasi, globalisasi telah membuat dunia terasa semakin mengecil dan menyempit seperti sebuah perkampungan. Akibat globalisasi, peristiwa-peristiwa yang terjadi di salah satu belahan dunia dapat didengar dan diketahui dalam sekejap oleh orang-orang yang menghuni belahan dunia lain.
Perihal globalisasi, selain dari tatanan bahasa, globalisasi juga sebagai konsep dicetuskannya oleh berbagai tatanan lain yang saling terkait, seperti ekonomi, politik-idiologi, ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya.
Sebagai pengertian ekonomi, globalisasi berarti proses internalisasi produksi, mobilisasi yang semakin membengkak dari modal dan masyarakat internsional, penggandaan dan intensifikasi ketergantungan ekonomi, secara lebih konkrit, hal itu berarti reorganisasi sarana-sarana produksi, penetrasi lintas negara industri, perluasan pasar uang, penjajahan barang-barang konsumsi sempai ke negara-negara Dunia Ketig dari Dunia Pertama, dan penggusuran penduduk lintas negara secara besar-besaran. Sedangkan sebagai pengertian pilitik-idiologi, globalisasi dirumuskan sebagai liberalisasi perdagangan dan investasi, dergulasi, privatisasi, adopsi sistem politik demokrasi dan otonomi daerah.
Sebagai pengertian ilmu pengetahuan, globalisasi tidak hanya dipakainya kaidah kebenaran ilmu yang bersumber pada empirisme dan cara penalaran konteks masyarakat dan alam Negara-Negara Maju bagi Negara-Negara Tertinggal tanpa memperhatikan ke-khasan masyarakat dan alamnya, tetapi juga termasuk usaha-usaha untuk membangun kebenaran ilmu untuk pemanusiaan manusia termasuk mencari keterangan ilmiah pengetahuan lokal dan tradisi. Sebagai pengertian teknologi, gobalisasi berarti penguasaan dunia melalui penguasaan teknologi, tidak hanya terutama teknologi komunikasi dan informasi, namun juga teknologi penghancur lingkungan serta bioteknologi pengancam manusia tanpa kemampuan kendali.[12]
Keduanya telah meringkas hamparan dunia menjadi tombol keputusan dari balik meja penguasa ekonomi dan politik adikuasa. Dan pengertian budaya, globalisasi tidak hanya merupakan proses harmonisasi ide-ide dan norma-norma, seperti pluralitas keberagaman, hak-hak asasi, namun juga gaya hidup konsumerisme dan pornografi. Proses demikian merupakan gerakan menuju kewargaan duni universal yang melampaui batasan negara-kebangsaan.
Globalisasi adalah suatu keniscayaan. Lambat atau cepat proses globalisasi dengan berbagai tantangannya akan terjadi dalam interaksi kehidupan umat manusia seiring dengan kemajuan yang canggih di bidang teknologi komunikasi, transportasi dan informasi. Proses globalisasi dewasa ini ditandai oleh tingkat kecepatan yang tinggi di mana pertukaran informasi dan budaya berlangsung dengan mengambil corak, manifestasi, dan sosok intensitas dengan segala) variasi kompleksitasnya.
John Naisbitt, dalam Global Paradox-nya mendramatisir pengaruh komputer terhadap pemikiran teologis itu dengan mengutip ungkapan imaginer dari Randall L. Tobies, mantan wakil ketua AT&T (industri telkom, komputer dan elektronik yang mashur) sebagai berikut : “Seorang ahli teologi bertanya kepada super komputer: Apakah Tuhan ada? Super komputer itu mengatakan , bahwa ia tidak mempunyai kekuatan pemrosesan untuk mengetahuiNya. Dia minta dihubungkan dengan semua super komputer lain di dunia. Namun, dia tetap belum memiliki kekuatan yang cukup. Maka dia itu dihubungkan dengan semua mainframe di dunia dan kemudian dengan komputer mini, dan dengan semua komputer di mobil, microwave, VCR, digital dan seterusnya. Ahli teologi tersebut bertanya untuk terakhir kali: Apakah Tuhan ada? Dan super komputer itu menjawab: sekarang ada[13]!
Dalam contoh lain, pengaruh bahasa Inggris sekarang sudah menyusupi hampir semua sektor kehidupan, dan sudah menjadi universal. Di dunia sekarang ini terdapat lebih dari satu milyar pemakai bahasa Inggris. Enam puluh persen siaran radio di dunia menggunakan bahasa Inggris. Tujuh puluh persen pos di dunia, alamatnya ditulis dalam bahasa Inggris. Delapan puluh persen dari semua data dalam 100 juta komputer menggunakan bahasa Inggris.
Dan sekarang ini buku-buku referensi keislaman (maraji’al-buhuts al-islamiyah) sudah sangat banyak ditulis dalam Inggris, mualai dari kitab-kitab (kitab kuning) sampai studi-studi keislaman kontemporer. Dampaknya antara lain adalah tumbuhnya kecenderungan di kalangan peminat, peneliti, pengkaji dan pengamat keislaman lebih suka menggunakan referensi keislaman yang berbahasa Inggris. Disamping alasan kebahasaan (yang dikuasai), alasan metodologis lebih memuaskan, dibanding referensi lain yang berbahasa Arab atau Urdu misalnya.
Namun, gejala globalisasi yang kuat dalam segala sektor itu, diimbangi dengan munculnya semangat primordial di sisi yang lain. Munculnya gerakan politik etnis di balkan (Bosnia, Krowasia dan Serbia), seperti menyaingi gerakan gerakan politik regional Masyarakat Eropa. Cita-cita umat Islam sebagai ummatan wahidah yang digarap melalui berbagai macam forum dan lembaga, mengalami kesulitan karena munculnya konflik-konflik primordial (suku, madzhab, partai, tariqah) di lingkungan komunitas muslim di berbagai negara.[14]
Di sisi lain pengaruh globalisasi yang menekan dengan begitu deras dari wajah globalisasi ekonomi-idiologi politik dapat dirumuskan menjadi 12 butir dengan mempergunakan bahan-bahan yang disediakan oleh Bose, Oommen, Fernandes, Kartika dan Gautama, van Lidekerke, dalla Costa sebagai berikut:
1. Adanya beban berat dari perangkap hutang luar negeri. Ketika merdeka, Indoneisa dan India hampir tidak mempunyai hutang luar negeri, kini setiap orang menanggung Rp 7 juta dan sedikit lebih kecil dari India.
2. Terjadinya internalisasi atau migrasi modal dari Dunia Pertama ke negara-negara pinggiran Duni Ketiga.
3. Gerakan bebas tenaga kerja dari Dunia Pertama ke Dunia Ketiga, termasuk bebas visa dan fiskal, sebaliknya gerakan tenaga kerja dari Dunia Ketiga ke Dunia Pertama dibatasi dengan kuota dan syarat apabila benar-benar dibutuhkan disana.
4. Agen pembaharuan / pembangunan bukan lagi negara tetapi MNCs/TNCs (Multi-National Corporations atau Trans-National Corporations).
5. Adanya pertukaran barang dengan tarif rendah datau zero antara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga, berbeda. Dari Dunia Ketiga, yang diekspor adalah barang-barang konsumsi yang eksotik yang diproduksi dengan tenaga murah dan nilai tukar rendah. Dari Dunia Pertama adalah barang-barang sarat modal dan teknologi yang belum tentu dibutuhkan oleh Dunia Ketiga, atau istilah John Kenneth “barang yang menciptakan keinginan” (created want) atau memenuhi selera hidup konsumeris, namun dibalut sebagai iklan yang meninabobokan.
6. Belum tetrbentuknya masyarakat demokratis termsuk masih lemahnya posisi tawar-menawar dari serikat buruh, tani, nelayan, pekerja profesi, pembantu rumah tangga, dan sebagainya termasuk majikan dan masih diberikannya upah dibawah UMR (Upah Minimum Regional) masih juga tidak cukup untuk hidup layak, perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan, pemekerjaan anak-anak, seta perusakan anak-anak.
7. Globalisasi perdagangan melebarkan sayap ke mana-mana tetapi cenderung mendesakkan fragmentasi dan perpecahan politik pada masyarakat tujuan, terutama yang amat tertinggal secara manajerial, ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan maksud mereka mudah dikuasai dan dijarah.
8. Bekerja sama dengan pemerintah otoriter yang kebanyakan korup, terjadilah monopoli sumberdaya agraria dan alam yang merupakan tumpuan hidup subsistem ataupun layak masyarakat hukum adat maupun bangsa seluruhnya. Monopoli yang dilakukan oleh perusahaan besar lokal maupun lintas negara berakibat fatal bagi masyarakat yang harus tergusur, polusi, dan degradesi lingkungan, serta pemiskinan, peminggiran masyarakat lokal, termasuk masyarakat hukum dat.
9. Terjadinya tranformasi teknologi, khususnya yang sudah mulai usang di negara-negara maju (Amerika Utara, Eropa, Jepang) atau bahkan negara pengantara (Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Singapura), yang di dumping ke negara-negara berkembang yang cenderung polutif dan hanya dapat “efisien” karena dioperasikan oleh buruh yang murah yang kemarin-kemarin dikontrol tentara dan polisi sehingga tidak mungkin membela nasibnya dengan berorganisasi, juga teknologi yang berdampak mengurangi kesempatan kerja, kesempatan mengais kehiduan. Semuanya adalah proses pemiskinan, baik teknologi maupun manusia.
10. Dengan berdalih program penyesuaian (structural adjusment) dan pengetatan ikat pinggang (belt tightening), yang tak lain aalah untuk tujuan memampukan negara membayar kembali hutang luar negeri sekalipun bangkrut ekonominya.
11. Tiadanya alternatif bagi program ekonomi yang ada, apalagi sudah terlanjur terjerat hutang luar negeri dan memperangkap Surat Kesanggupan Menjalankan Program menyebabkan ketidak berdayaan yang tidak berkesudahan, bahkan telah menggadaikan hidup anak cucu yang belum dilahirkan.
12. Sebagai akibat dari tekanan globalisasi ekonomi-politik-idiologi, serta bagian-bagian jelak dari globalisasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya, terjadilah reaksi etnisitas atau fundamentalis.
Dari rumusan diatas bahwa globalisasi ekonomi-politik-idiologi, serta bagian-bagian jelak dari globalisasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya, bagaimanapun harus diwaspadai melainkan disikapi dengan cara) damai/disiasati.[15]
Globalisasi sebagai salah satu proses historis dan sosiologis sudah pasti membawa tantangan-tantangan sebagaimana disebut diatas yang tidak mungkin terelakan oleh setiap kelompok masyarakat, termasuk umat Islam. Akbar S. Ahmaed dan Hastings Donnan mencatat, “Proses-proses globalisasi telah menghantam secara keras sendi-sendi kebudayaan tradisional, dan proses-proses tadi telah menimbulkan isu-isu di kalangan kaum Muslimin. Isu-isu itu tidal lagi diabaikan begitu saja oleh mereka. Orang-orang Islam sekarang ini dipaksa untuk menghadapi isu-isu yang dirumuskan sebagai respons terhadap isu-isu tadi. Masalah-masalah yang pada masa lalu hanya ditanggapi baik oleh beberapa orang yang mempunyai informasi yang baik, sekarang masalah-masalah itu diperdebatkan oleh banyak orang dalam masyarakat pada setiap tingkat organisasi sosial”.
Sebagaimana dikutip diatas, Akbar S. Ahmad dan Hastings Donnan mengatakan bahwa proses globalisasi telah menerpa dan menghantam sendi-sendi kebudayaan tradisional. Dengan kata lain , ini berarti bahwa proses globalisasi telah menggoyang bahkan meruntuhkan akar-akar budaya tradisional dalam kehidupan kelompok-kelompok Muslim di dunia.
NU sebagai bagaian integral dari komunitas Muslim di Indonesia secara berkesinambungan tetap mempertahankan dan melestarikan sendi-sendi bangunan tradisi dan akar-akar budaya tradisionalnya, walaupun tidak harus mengisolasi dan menutup diri untuk menerima hal-hal yang positif dari budaya Barat atau budaya mencanegara lainnya.
Begitu pula NU tetap bersikap konsisten dalam melaksanakan strategi kebudayaan sebagaiaman telah dirumuskan secara tepat dalam “Al- Muhafadzah’ala al- qadimi as-Shalih wa al – akdzu bi al-jadidi al-ashlah” (memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Prinsip dan strategi kebudayaan yang dianut diatas mengandung implikasi bahwa terhadap hasil-hasil budaya Barat yang positif seperti sains dan teknologi, NU dan seluruh jajaran jama’ah dan warganya mengapresiasi, mempelajari, menerima dan mengaplikasikannya. Penerimaan NU terhadap hasil-hasil budaya Barat yang positif adalah perlu dan merupakan keniscayaan dalam rangka untuk memodernisasi cara kerja NU.
Menghadapi tantangan globalisasi dewasa ini , tak ada pilihan lain kecuali menjadikan dirinya sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang “ modern” tanpa harus kehilangan nilai-nilai dasar tradisionalnya, secara kreatif meramu tradisi dan modernisasi serta mengharmonikan keduanya dalam satu konfigurasi bangunan yang selaras dan ideal sehingga tidak hanya menampakkan sisi tradisionalismenya yang terkesan selama ini.
Citra kemoderenan tercermin pada kelompok nahdliyin dengan melakukan rekontruksi mental agar memiliki sikap mental orang-orang modern. Prof. Inkeles, ahli sosiologi dari Universitas Havard (Amerika Serikat) sebagai berikut :
1. Manusia modern siap sedia untuk pengalaman baru dan terbuka untuk pembaharuan dan perubahan (innovation and change). Dalam hal ini ia membedakan dirinya dengan manusia tradisional.
2. Manusia modern mampu membentuk pendapat tentang jumlah besar masalah dan isu yang timbul, tidak hanya dari segi luarnya saja.
3. Manusia modern dalam orientasinya terhadap berbagai pendapat yang ada bersikap lebih demokratis. Ini berarti bahwa di lebih sedar tentang aneka ragam sikap dan pendapat di sekitar dirinya. Dia tidak menutup dirinya dalam kepercayaan bahwa setiap orang berpikir serupa dengan dia. Dia tidak serta merta menerima gagasan-gagasan atasannya dalam hirarkhi kekuasaan. Demikian juga dia tidak menolak begitu saja pendapat orang yang dedudukannya berada di bawahnya.
4. Manusia modern berorientasi ke masa sekarang dan kedepan, dan bukan kemasa lampau. Orientasi ini membawa konsekwensi kepada tanggapannya tentang waktu, dan lebih teratur dalam mengurus persoalan-persoalannya.
5. Manusia modern berorientasi kepada dan terlibat dalam perencanaan (planning) serta pengorganisasian dan ia percaya padannya sebagai suatu cara untuk mengatur kehidupannya.
6. Manusia modern percaya bahwa manusia dapat belajar sampai pada tingkat yang jauh untuk menguasai sekelilingnya, guna memajukan tujuan dan sasarannya dan bukan sebaliknya, yakni dikuasai seluruhnya oleh lingkungannya itu.
7. Manusia modern mempunyai kepercayaan bahwa dunia ini dapat diperhitungkan, dan bahwa orang lain dan lembaga-lembaga di sekitarnya dapat diandalkan guna memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya. Ia tidak percaya bahwa segala sesuatu ditentukan oleh takdir atau oleh ulah tabiat khusus dan ciri-ciri manusia. Ia percaya pada dunia yang bertimbang ras, berdasarkan hukum, dibawah kontrol manusia.
8. Manusia modern mempunyai kesadaran terhadap martabat orang lain dan cenderung menunjukan respek terhadap mereka.
9. Manusia modern percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
10. Manusia modern percaya pada keadilan yang terbagi (distributive justice). Artinya, ia percaya bahwa ganjaran-ganjaran harus sesuai dengan sumbangannya (kontribusi) dan tidak berdasarkan pada ulah atau milik-milik istimewa orang yang tidak ada hubungannya dengan sumbangan itu.
Sifat-sifat orang modern seperti diungkap oleh Prof. Inkeles di atas diangkat dari pengamatan terhadap paradigma kehidupan Barat yang berpandangan hidup sekuler (hidup tanpa agama) dan antroposentris. Kendatipun demikian, sifat-sifat tadi dapat direkomendasikan untuk ditumbuhkan dalam diri pribadi orang-orang Islam pada umumnya, dan pribadi nahdliyin pada khsusnya dengan catatan bahwa penumbuhan sifat-sifat tersebut didasari oleh nilai-nilai dan motivasi Islam sehingga perilaku dan tujuan hidup yang hendak dicapai tetap bertumpu pada pencarian dan perolehan) keridlaan Allah SWT.[16]
IMPLIKASI HASIL NILAI-NILAI PENDIDIKAN
Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, paham yang banyak menyita perhatian dan dianut oleh komunitas NU dapat dijelaskan sebagai berikut: Pengikut ajaran Islam yang berlandaskan kepada (1) Al-Qur’anul Karim, (2) Sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrir) Nabi Muhammad SAW sebagaimana telah dilakukna bersama-sama shabatnya, (3) Sunnah Khulafaurasyidin: Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Pada awalnya, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) merupakan aliran teologi yang dikembangkan oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi. Madzhab kalam ini merupakan jalan tengah antara rasionalisme Mu’tazilah dan amtropomorpisme Jabariyah. Ia mempelopori pendekatan sekaligus, yaitu pendekatan rasional dan tekstual.
Paham Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah yang dianut NU, dibidang fiqih menganut madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali. Adapun dalam bidang kalam menganut madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah-Asy’ariah artinya penganut pemikiran al-Asy’ari (sebagai analogi: Webwrian artinya penganut pemikiran Max Weber). Sedang dalam tasawuf madzhab Junaidi al-Baghdadi dan al-Ghazali.
NU berpegang pada madzhab empat, berarti bahwa produk hukum Islam (fiqih) dari empat mujtahid, Hanafi, maliki, Syafi’I dan Hambali-harus dipegang teguh. Dalam kenyataanya NU lebih condong pada pendapat Syafi’I , sehingga wajar NU sering di “cap” sebagai pemegang penganut fanatik madzhab Syafi’i . dengan konsep madzhab empat ini, secara historis NU berharap memiliki keleluasaan menerapkan kebijakan jam’iyahnya untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul, sehingga tidak kaku dengan berbagai alternatif dari madzhab yang ada, meskipun tradisi NU lebih banyak berkiblat pada madzhab Syafi’i . ternyata dalam lingkungan madzhab Syafi’i sendiri masih dimungkinkan munculnya alternatif pemecahan karena tersedia beberapa pendapat yang berbeda.
Dasar pemikiran NU untuk tetap berpegang pada salah satu dari empat madzhab yaitu bahwa pokok atau dasar semua hukum Islam ialah Qur’an. Karena Al-Qur’an itu undang-undang pokok yang memiliki seberapa bab yang mengandung bahasa tinggi dan bercabang dan sebagainya, maka tidak boleh menafsirkan (mengartikan) AL-Qur’an hanya dari ayatnya saja. Tetapi juga harus dan wajib memeriksa dua perkara: Pertama al-Hadits atau sunnah. Karena Al-Qur’an itu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka tidak ada yang lebih mengerti dan paham akan maksud dan arti kandungan yang sebenarnya kecuali Nabi Muhammad; maka Nabi inilah yang menunjukan maksud dan arti kandungan Al-Qur’an itu lewat perkataan, perbuatan dan )tingkah laku.[17]
Paham Aswaja yang dikembangkan NU secara umum berpangkal pada tiga pandangan pokok seperti telah disebut diatas. Dengan berpangkal pada tiga pandangan pokok tersebut, NU dalam mengantisipasi perubahan zaman, terutama dalam bidang hukum dan politik, disamping menggunakan empat sumber hukum Islam yakni al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas, juga mengacu pada lima pokok tujuan Syari’ah, sebagaimana dikemukakan oleh Imam as-Syathibi, yakni : melindungi agama, jiwa, keturunan atau kehormatan, harta dan akal sehat. Lima pokok tujuan Syari’ah itu masih ditopang lagi dengan kaidah kaidah fiqih (argumen-argumen rasional) sebagai berikut :
1. Setiap urusan tergantung tujuannya.
2. Keyakinan tidak bisa dihilangkan karena keraguannya.
3. Bahaya itu harus dilenyapkan.
4. Kesulitan itu dapat menghilangkan kemudahan.
5. Adat kebiasaan itu dapat dikukuhkan sebagai hukum.
Dari kelima kaidah pokok tersebut, kemudian lahir kaidah-kaidah fiqih lain sebagai cabang-cabangnya, yaitu :
Ø Menghindari kerusakan harus didahulukan atas melaksanakan kebaikan.
Ø Apabila terjadi pertentangan antara dua kerusakan, maka harus dipertimbangkan bahaya yang lebih besar, dengan menjalankan resiko yang lebih kecil.
Ø Kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan syarat tertentu, maka syarat itu menjadi wajib pula.
Ø Apa yang tidak bisa diperoleh seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya.
Ø Apabila keadaan sempit lapangkanlah dan apabila keadaan lapang persempitlah.
Ø Memelihara hal lama yang baik, dan mengambil baru yang lebih baik.
Ø Kesulitan memperoleh segala sesuatu yang semula dilarangnya.
Dengan berpijak pada kaidah-kaidah fiqih seperti dikemukakan di atas, dalam aspek sosial kemasyarakatan, NU mencoba mengembangkan sikap-sikap Tawassuth (moderat/sikap tengah), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan amar ma’ruf nahi munkar (mendorong berbuat baik dan) mencegah perbuatan mungkar).29
Sikap moderat Ahlussunah Wal Jama’ah tercermin pada metode pengambilan hukum (istinbath) yang tidak semata-mata menggunakan nash, namun juga memperhatikan atri penting posisi akal/ra’yi, begitu pula dalam wacana berpikir selalu menjembatani kerangka berpikir oleh imam madzhab serta generasi berikutnya dalam mengistinbathkan hukum.
Sedangkan sikap netral (tawazun) Ahlussunah Wal Jama’ah berkaitan dengan sikap mereka dalam merespon dan berhadapan dengan prsoalan sosial politik. Ahlussunah Wal Jama’ah tidak terlalu membenarkan sikap kelompok garis keras (ekstrim). Akan tetapi jika berhadapan dengan penguasa yang zalim, tirani dan diktaktor, mereka tidak segan-segan untuk mengadakan aliansi untuk menghadapinya. dengan kata lain, suatau saat mereka bisa akomodatif, namun pada saat yang lain bisa kritis walaupun masih dalam tawazun. Sedangkan dalam sikap ta’adul (keseimbangan) Ahlussunah Wal Jama’ah terefleksi pada kiprah mereka dalam khidupan sosial antara sesama dalam spektrum budaya tertentu.
Pemahaman Ahlussunah Wal Jama’ah sebagai akumulasi doktrin-doktrin sebagaimana yang dirumuskan oleh tokoh-tokoh Sunni menjadikan doktrin Aswaja tidak mampu untuk berhadapan dan berdialog dengan perubahan seiring dinamika masyarakat yang berkembang. Rumusan yang selama ini dijadikan acuan teologis bagi mayoritas umat Islam tidak mampu lagi mengakomodasi tuntutan perubahan. Munculnya tatanan masyarakat yang timpang dan tidak demokratis tidak mampu lagi dibaca dalam kerangka rumusan doktrin lama ini. Hal ini terlihat dari fatwa-fatwa ulama dan organisasi keagamaan yang sering kali melegitimasi kebijakan penguasa atas nama agama untuk kepentingan tertentu.[18]
Dalam diskursus sosial-budaya, Aswaja banyak melakukan toleransi terhadap tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan tetap berusaha untuk mengarahkannya. Formalisme dalam aspek-aspek kebudayaan dalam Aswaja tidaklah memiliki signifikansi yang kuat. Karena itu tidak mengherankan dalam tradisi kauym Sunni terkesan wajah kultur Syi’ah ayau bahkan juga Hinduisme.
Jika di amati secara teliti, dinamika perkembangan NU dewasa ini agaknya tidak terlepas dari sosok figur yang bernama Abdurrahman Wahid. Sejak ia mengemban kepemimpinan di Tanfidziyah tahun 1984, NU seolah sedang memasuki dunia baru yang penuh dengan dinamika dan gejolak, baik intrnal maupun eksternal. Sebuah harapan, bahwa polemik (al-khiwar), munaqosah, dialog dan ikhtilaf dalam hal pemikiran keagamaan, ketika masih dalam koridor etika intelektual, dapat menjadi tradisi baru dalam khasanah “NU Baru”. Gus Dur, dan teman-teman.
Tokoh filsafat Barat mengatakan Seperti yang dilontarkan Martin “sebagai usaha generasi yang masih seide dengan gagasan Abdurrahman Wahid”, sebut saja, misalnya, K.H Sahal Mahfuz, K.H Mustofa Bisri, Masdar Farid Mas’udi dan seterusnya, sebagai sosok figur yang mendorong dan turut meletakkan dasar-dasar keterbukaan dan menfasilitasi perkembangan pemikiran selama beberapa dekade ini berlangsung. Menjadi keniscayaan bagi generasi NU kedepan adalah bagaimana NU lebih menfasilitasi tranformasi yang sedang terjadi dan membina keberdayaan sosial politik dan terutama ekonomi masyarakat bawah terbangunnya civil Socity yang tercerahkan.[19]
Nampaknya tampilnya Gus Dur sebagai orang nomor satu di tubuh NU, dan orang-orang yang ikut mendorong terhadap perkembangan NU telah memberikan kobntribusi perubahan terhadap lanskap sosiologis yang sudah terbentuk lama. Mengingat langkah-langkah pembaharuan yang dilakukannya, timbul kesan sementara pihak bahwa dalam beberapa hal justru NU dinilai lebih maju daripada organisasi-organisasi Islam lain.
Banyak terobosan yang sudah dilakukan oleh gerakan pembaharuan, dalam hal ini Gus Dur dan teman-teman, meski tidak semuanya berhasil. Sebagai contoh dalam bidang ekonomi, ia telah merintis kerja sama dengan Bank Summa dengan mendirikan BPR Nusumma. Juga bekerja sama dengan beberapa konglomerat untuk mendirikan pabrik. Dalam bidang sosial, dia memndorong berdirinya LSM-LSM di bawah payung NU, kemudian menjalin kerja sama dengan LSM dan lembaga-lembaga internasional. Sementara dalam masalah keagamaan, ia memperbaharui pandangan dan sikap NU tentang berbagai hal, seperti kesetaraan Pria-Wanita (gender). Kemudian ide tentang “pribumisasi” Islam, tentang asuransi, pajak, bunga bank, kasus Asslamu’alaikum dan selamat pagi, serta banyak hal lain.
Lontaran-lontaran pembaharuan pemikiran Islam yang di pelopori oleh almarhum KH. Akhmad Siddiq tidak berbeda jauh dengan apa yang dilakukan Muhammadiyah. Hasil Munas Cilacap menandai dimulainya gerakan pembaharuan di tubuh NU. Langkah-langkah yang lebih konkrit kemudian dilakukan, seperti penilaian ulang kiab-kitab kuning yang digunakan di pesantren, metode pengambilan keputusan dengan merujuk langsung Al-Qur’an dan Hadits.
Dalam ranah semangat pluralisme dan demokrasi, citra NU telah berubah dari organisasi ekslusif (bersifat keras), konservtif, dan fundamentalis menjadi NU sebagai Dalam konteks hubungan organisasi yang inklusif, modern dan moderat.34 dengan kelompok lain baik lingkup Nasional atau Internasional, Gus Dur mampu menjalin hubungan yang baik dalam rangka menjaga keutuhan pluralitas kehidupan.
KESIMPULAN
Menyadari bahwa kesatuan umat manusia adalah konsekuensi dari kemajuan peradaban manusia, maka penganut ahl sunnah wal jamah dalam era globalisasi ini justru harus menghadapinya dengan kesiapan untuk berlomba dalam mendakwahkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat dunia. Dengan cara bersikap kreatif dengan menggali tak kenal henti saripati dan hikmah ajaran Islam untuk didakwahkan dan disumbangkan sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan li al-alamin) .
Tidak bisa dinafikan bahwa ada sisi lain dari globalisasi yang berdampak tidak menguntungkan bagi umat Islam. Sebab pihak yang diuntungkan adalah yang paling menguasai teknologi dan bermodal besar. Dalam situasi inilah globalisasi muncul dalam bentuk dominasi Barat terhadap negara-negara Timur (Islam). Salah satu faktor yang menyebabkan muncul dan meluasnya radikalisme serta terorisme adalah dominasi tersebut. John L Esposito misalnya, melihat bahwa dominasi Barat terhadap negara-negara Islam menyebabkan umat Islam resisten terhadap peradaban Barat. Celakanya, resistensi tersebut acapkali disertai dengan generalisasi bahwa semua yang berasal dari Barat harus ditolak dan dimusuhi.
Dengan demikian sedikit banyak globalisasi memiliki kontribusi dalam konflik Islam-Barat. Ini bukan berarti kita harus menolak globalisasi, sebab ada nilai-nilai dan produk globalisasi yang bermanfaat bagi kehidupan bersama. Globalisasi sebagai fenomena tercabutnya ruang dari waktu bukan hanya sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditampik, melainkan juga menguntungkan bagi interaksi peradaban seluruh umat manusia. Kemunculannya seiring dengan kemajuan peradaban manusia itu sendiri. Namun globalisasi sebagai sebuah ideologi, dimana liberalisme ekonomi yang menjadi spiritnya, tentu harus diwaspadai.
Dengan demikian, kita bisa berharap bahwa umat Islam tidak gampang terseret dalam menghadapi arus globalisasi. Sebagai bagian terbesar dari bangsa Asia Tenggara, umat Islam dengan kemampuannya menggali dan mendayagunakan ajaran agamanya untuk menjawab tantangan globalisasi, justru diharapkan untuk mampu memelopori dan membawa bangsa ini tampil di gelanggang percaturan dan persaingan global tanpa kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang beriman dan bertakwa. Ini sekaligus merupakan upaya kongkret untuk turut mengarahkan aliran arus globalisasi.
Dengan teknologi komunikasi dan informasi dunia memang terasa menjadi sempit dan kecil. Tanpa keimanan kecanggihan produk Iptek tersebut dapat membawa manusia ke sikap sombong dan melupakan Allah SWT. Namun, dari sudut iman, dunia yang terasa kecil itu justru mengugah agar manusia lebih merasa kecil dihadapan Allah Yang Maha Pencipta. Tanpa pegangan iman pola kehidupan yang makin mengglobal ini akan mudah membawa orang-orang terombang-ambing, terlanda stress dan keterasingan (alienated). Tetapi dengan keimanan orang akan tangguh menghadapinya karena proses tersebut dipahami sebagai bagian dari sunnatullah yang tak mungkin dihindari.
Pada era globalisasi dan informasi sekarang ini, sikap hidup masyarakat semakin rasional, laju urbanisasi amat cepat terjadi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga semakin pesat. Hal itu tentu saja merupakan tantangan bagi Muslim untuk memberikan kontribusi. Etos keilmuan yang jelas sangat penting untuk dimiliki itu, merupakan hal yang ditekankan dalam ajaran Islam. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu sejak dari ayunan hingga liang lahat (minal mahdi ilal lahdi). Seyogyanyalah etos keilmuan itu senantiasa dihidupkan di dalam kalbu setiap muslim demi kemajuan islam kedepan tanpa harus mengabaikan dan konservatif atas kemajuan yang sudah berkembang di era globalisasi ini.
[1] Maroubeni, Sejarah Aswaja hlm.76
[2] KOMUNITAS.COM, “Aswaja dan peran arah baru NU”
[3]Abdul Mu’im DZ , “Ahi Sunnah Waljamaah Dibumi Nusantara”hlm. 56
[4] Ibid1
[5] Said Aqil Siroj, Makalah:“Doktrin aswaja dibidang social dan politik”
[6] Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206
[7] Khitthah Nahdliyah, hal 40-44
[8] KOMUNITAS. COM, Aswaja sebagai jawaban dinamika kehidupan
[9] Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i
”Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasar Al-Qur’an dan Hadits”
[10] KOMUNITAS.COM, “Aswaja Dan Peta Pemikiran Islam”
[11] KH Muhyidin Abdusshomad, Doktrin Aswaja di Bidang Sosial-Politik
[12] KH. DR. Dr. Tarmizi Taher, “Dakwah global Ahlus Sunnah wal Jama'ah”
[13] Ibid5
[14] Misbah Em Majidy, “Takdir global”
[15] Ibid6
[16] Ibid7
[17] Ibid8
[18] Muhammad lhutfi thomafi, “redefinisi konsep aswaja: sebuah gagasan”
[19] Bedah Buku Dan Diskusi dengan tema: “Aswaja Di Era Global Dalam Kontestasinya Dengan Keyakinan Dunia”
*Idris Masudi, Lc Pemuda NU aktif di Pusat Studi Pengembangan Pesantren.
1 komentar:
assalamualaikum terimakasih...tulisan yang sangat bermanfaat...www.inisiteku.com
Posting Komentar